Senin, 09 Februari 2009

REFORMASI BIROKRASI DAN DEMOKRATISASI

Pendahuluan


Aparatur pemerintahan (birokrasi) merupakan inti “orbit sosial”, yakni sebuah garis edar tempat berpusarnya seluruh aktivitas administrasi pemerintahan. Hal ini pula yang memberi kesan bahwa birokrasi itu kuat, besar dan dominan. Dengan kata lain posisi birokrasi mempunyai peranan yang penting dan strategis sebagai unsur dinamis roda pemerintahan dan pembangunan suatu negara-bangsa, sebagaimana tampak pada era pemerintahan orde baru pimpinan mantan Presiden Soeharto.


Melalui format pengelolaan negara/pemerintahan yang diatur secara ketat dan terkendali lewat penggunaan sistem pemerintahan yang birokratis, keberhasilan pembangunan di masa orde baru sangat bergantung pada kemampuan birokrasi dalam mengimplementasikan setiap kebijakan publik (public policy) yang sudah ditetapkan para elite politik dan pemerintahan di masa itu.


Suatu hal yang ironis, ketika posisi dan peran birokrasi sangat dominan dan sentral di dalam sistem nasional kita, justru semakin hari aparatur birokrasi semakin tidak mampu “menjaga” performance-nya sebagai alat pelaksana kebijakan negara, bahkan termasuk dalam mengonsolidasikan dirinya dalam arus perubahan dan tantangan jaman. Pengaturan dan penanganan segala sesuatu yang berhubungan dengan aspek-aspek administrasi/manajemen pemerintahan dan pembangunan, selalu digugat terutama menyangkut efisiensi, efektivitas program, sikap perilaku, budaya kerja dan orientasi (semangat) pelayanan, bahkan menyangkut aktualisasi kultur pengabdiannya kepada masyarakat yang rendah. Adalah wajar, bila birokrasi menjadi pusat pelampiasan keluhan, malahan dituding tidak mampu secara optimal menyelenggarakan fungsi, melaksanakan misi dan visinya dalam hampir semua aktivitas yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya secara intristik dan secara intrinsik dan fungsional selaku abdi masyarakat.


Padahal posisi birokrasi sebenarnya merupakan mata rantai hubungan fungsional antara pemerintah selaku pelaksana tugas negara dan masyarakat sebagai “stakeholders” utama. Dalam tataran tersebut, birokrasi mempunyai tugas penting, yaitu merealisasikan tujuan-tujuan negara dalam arti mengimplementasikan seluruh kebijakan publik yang seharusnya menyentuh kepentingan dan harapan masyarakat.



Birokrasi dan demokratisasi


Aparatur pemerintah mengemban tugas penting sebagai ‘agen’ perubahan masyarakat, maka tidak heran bila inisiatif perubahan banyak datang dari unsur birokrasi, terutama di tingkat pusat. Pada posisi seperti itu, birokrasi merupakan elemen sentral dari format state corporatism (korporatisme negara) yang berfungsi optimal mengendalikan masyarakat dalam hampir semua aspek kehidupan. Format politik seperti ini mengakibatkan sistem sosial politik menjadi sangat monolit, dan birokrasi berada pada titik sentralnya. Hal inilah yang kemudian disebut ahli administrasi negara Dwight Waldo (1948) sebagai administrative state.


Sepadan dengan itu, Hans-DieterEvers dan Tilman Schiel (1990) dalam salah satu tesisnya ketika melihat besarnya tingkat birokrasi di Indonesia mengemukakan tiga macam birokratisasi, yang salah satunya bahwa proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi lebih dikendalikan oleh birokarsi seperti yang disindir oleh Orwell dalam novelnya. Proses ini disebut sebagai Orwellisasi, menorehkan paradigma baru, yakni makna dan dimensi partisipasi masyarakat lebih banyak diartikan sebagai proses mobilisasi dan regimentasi.


Inilah cerita klasik tentang “wajah” birokrasi Indonesia yang big bureaucracy. Dengan peran dan kedudukan yang besar menjadikan aparatur pemerintah (birokrasi) memegang posisi kunci dalam tataran dan wacana kepolitikan di negeri ini. Hal inilah yang kemudian menarik minat ilmuwan Karl D. Jackson untuk menelaah kepolitikan di Indonesia. Selanjutnya ia melahirkan sebutan bureucratic polity di Indonesia.


Bureucracy polity adalah satu bentuk sistem politik di mana kekuasaan dan partisipasi politik dalam membuat keputusan terbatas sepenuhnya pada penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Secara singkat Jackson berpendapat adanya tiga ciri dari masyarakat birokratik politik, yaitu: (1) lembaga politik yang dominan adalah aparat birokrasi; (2) lembaga politik lainnya, seperti parlemen dan partai sangat lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi, dan; (3) massa di luar birokrasi secara politis dan ekonomis pasif.


Dengan model ‘kepolitikan birokratik’ tersebut, akibatnya tidak ada partisipasi masyarakat; tidak ada kemandirian politik (aktualisasi otonomi politik) dari masyarakat warga (civil society), karena memang sempitnya “ruang publik” dalam mengekspresikan kebebasan politik (civil liberty). Sebaliknya, justru begitu kuatnya pengaturan negara, ketatnya pola regimentasi, penetrasi dan kooptasi terhadap massa rakyat untuk melaksanakan keputusan politik, atau kebijakan publik yang sudah “dicetak biru” oleh birokrasi (pola top-down policy).


Peta perpolitikan bangsa secara gamblang memperlihatkan adanya dua kutub yang diametral, yaitu antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”, antara elit dan rakyat, antara yang “di atas” dan yang “di bawah”. Akibatnya, tidak hanya memunculkan stagnasi di dalam sistem politik, karena kuatnya pengaruh elit militer dan dominannya peran regulator dari administrator publik (birokrasi), tapi juga telah terjadi jurang politik yang lebar antara lembaga negara (state) dan lembaga masyarakat (society); pola hubungan dimana negara dominan dan hegemonik berhadapan dengan masyarakat yang lemah (strong state-weak society).


Besar dan kuatnya negara dalam perpolitikan, secara otomatis berdampak sangat signifikan terhadap rendahnya kadar demokrasi, karena nuansa “penegaraan” dan “overbirokratisasi” sangat kental. Lebih parah lagi, set-up politik Orba yang mengandalkan stabilitas dan birokrasi yang kuat, tidak saja bahwa kepolitikan nasional cenderung ke arah otoriterisme-totaliterisme, tapi juga telah memposisikan rakyat (infrastruktur politik) sebagai nonfactor dalam proses politik dan pemerintahan. Kemiskinan politik di tingkat bawah pun tak terelakan lagi.


Berdasarkan perspektif tersebut, semakin terasa mendesak dan penting membicarakan birokrasi dalam hubungannya dengan kehidupan demokrasi. Karena ternyata, sekalipun kadar ‘demokrasi’ itu tinggi, tetapi kalau didampingi oleh sistem birokrasi dan aparat yang lemah, malah akan memandulkan kehidupan politik dan dapat menyebabkan stagnasi dalam pemerintahan. Sebaliknya, betapa pun kuatnya, betapa pun tertibnya administrasi dan betapa pun efesiensinya birokrasi, kata Adam Malik, semua tak akan mempan, selagi ada jarak antara yang “di dalam” dengan yang “di luar”, antara yang memerintah dan yang diperintah (Ismid Hadad, Ed., 1981).


Ini berarti, aparatur negara atau aparatur pemerintah/birokrasi adalah “alat” yang harus mengabdi kepada negara dan masyarakat. Birokrasi bukan hulubalang kekuasaan Fungsi dan peranan aparatur pemerintah adalah menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan bangsa untuk mewujudkan tujuan nasional, seperti tersirat di dalam Pembukaan UUD’45.



Pembaharuan administrasi: Reformasi birokrasi pemerintahan menuju “Good Governance”


Perspektif dan paradigma administrasi negara baru mengonstatasikan pentingnya dimensi profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai pelaksana kebijakan publik. Sebab, sasaran dan pemikiran administrasi negara baru menurut H. George Frederickson (1988) jawaban klasiknya selalu: manajemen yang efisien, ekonomis dan terkoordinir atas instansi pelayanan. Sejalan dengan itu, posisi birokrasi dalam sebuah masyarakat madani (civil society) yang sedang terbentuk di Indonesia dewasa ini, harus didefinisikan kembali, bukan saja agar aparatur pemerintah (birokrasi pemerintah) Indonesia dapat terhapus citra buruknya selama ini, tapi juga agar peran fungsional birokrasi mempunyai kapabilitas optimal sebagai penggerak dinamika pembangunan nasional, termasuk dalam mengimplementasikan kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh badan perwakilan politik (DPR). Terlebih lagi dalam masa transisi politik menuju demokratisasi yang sesungguhnya.


Masa transasi sendiri menurut Hetifah Sjaifudian (2002) menawarkan peluang munculnya inovasi dan kreativitas dari pemerintah lokal maupun civil society untuk menajamkan fungsi masing-masing dalam penyelenggarakan gufernance. Antusiasme berbagai pihak untuk mempraktekan demokrasi dan melakukan reformasi di berbagai bidang, telah mempengaruhi dinamika yang menjadi motor perubah. Penyelenggaraan good governance menuntut adanya perubahan-perubahan yang ekstensif, terutama dalam bidang pemerintah. Mengadopsi istilah Osborne & Gaebler (1992:25-48) yaitu “steering”, ketimbang “rowing”, dan “enabling” ketimbang “providing”, pemerintah tidak perlu melakukan segalanya sendiri tetapi lebih memfasilitasi dan mengkoordinasikan, bukan mengarahkan dan mengontrol.


Hetifah Sjaifudian selanjutnya mengatakan, pergeseran fokus dari “old government” di era transisi menuju demokrastisasi pada prakteknya akan menghadapi permasalahan yang sangat kompleks, dan disinilah munculnya inovasi menjadi sangat penting, faktor apa saja yang dapat mendorong munculnya inovasi dan selanjutnya mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan governance yang baik? Menurutnya, salah satunya dan merupakan kunci sukses adalah adanya partisipasi aktif civil imulai dari proses perencanaan program pembangunan, implementasi, hingga pengawasan. Selain faktor partisipasi civil society, ternyata berbagai faktor lain di sisi government sendiri memiliki pengaruh terhadap proses berlangsungnya perubahan dan inovasi.


Dalam kondisi sosial politik dewasa ini, reformasi harus menjadi akar tunjang dalam membangun paham, budaya dan infrastruktur yang demokratis. Karena itu, paradigma baru peran birokrasi dalam pengembangan masyarakat madani untuk menuju Indonesia baru yang demokratis merupakan keniscayaan sejarah. Sebab, reformasi dalam kaitan administrasi negara, berkonteks dan bersubstansi pada seperangkat tindakan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan, efisien, tidak korup, sekaligus menjadikan birokrasi pemerintahan sebagai mediating agent antara rakyat dan negara.


Inti reformasi birokrasi publik adalah untuk mewujudkan good governance melalui peningkatan kinerja birokrasi di berbagai level; sekaligus memperbaiki kelemahan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dewasa ini. Peranan pemerintah sebagai agen perubahan dan pembaruan seharusnya segera meninggalkan orientasi top idan sikap patronizing dalam kebijaksanaan maupun perencanaan pembangunan. Orientasi pembangunan harus diubah menjadi demokratis (bottom-up) dan partisipatif, dengan melibatkan secara maksimal potensi dan aspirasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan pembangunan dan kebijakan publik. Agar perwujudan good governance akan mejadi kenyataan ketimbang pernyataan


Tuntutan terbentuknya pemerintahan yang baik, good governance, merupakan motivasi pokok dan pangkal tolak gerakan reformasi. Ini berarti, reformasi birokrasi publik merupakan sebuah keniscayaan. Dengan kata lain inilah oleh Gerald M. Meier (1991) yang dikenal dengan sebagai prinsip “Good Governance”, yaitu cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggung jawab pada publik. Sejalan dengan itu, Ermaya Suradinata (2002) mengatakan, diperlukan strategi “Good Governance” dan pengembangan SDM aparatur pemerintahan, baik dari aspek pembinaan jati diri maupun dari aspek manajemen pemerintahan agar dapat menjadi manusia yang ahli dan terampil serta profesional sehingga mampu melaksanakan berbagai jenis alih teknologi, termasuk mampu memilih teknologi hasil sendiri serasi dengan budaya bangsa Indonesia.


Upaya reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan “Good Governance” mestinya dimulai dengan menyusun grand design yang tepat untuk menentukan bentuk dan model birokrasi yang bagaimana yang bisa diterapkan di Indonesia dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk menjawab setiap tantangan dan permasalahan yang ada. Menentukan grand design reformasi sebagai prioritas, mengandung arti bahwa birokrasi perlu di-enegized dan di-revitalized, dalam arti birokrasi yang ada bukan harus dihancurkan, dibuang atau tidak diperlukan lagi, namun bagaimana pemerintahan yang berkuasa melakukan restrukturisasi, reengineering, pengembangan sumber daya manusia aparatur, dan membuat kontrak sosial baru yang mampu memberikan jaminan akuntabilitas publiknya terhadap masyarakat.


Disain struktur birokrasi yang ramping dan efektif menghasilkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, agar birokrasi kita tidak gemuk (sebab umumnya yang gemuk berjalan lamban), tidak terjadi penumpukkan pegawai dalam suatu unit organisasi, atau terjadinya pelimpahan pegawai negeri sipil dari pusat ke daerah seperti yang terjadi sekarang ini sebagai dampak penerapan otonomi daerah, termasuk menekan terjadinya pemangkasan dinas-dinas di daerah, yang belakangan sempat menimbulkan reaksi negatif. Kedua, birokrasi akan makin efektif dalam mengaktualisasikan peran fungsionalnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, terutama dalam memberikan pelayanan, dengan standar pelayanan yang jelas.


Adanya standar pelayanan yang jelas, tidak hanya dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan prima terhadap publik atau stakeholders, tapi juga akan meningkatkan kualitas dan kepuasan layanan terhadap masyarakat yang membutuhkan jasa kepadanya. Beberapa aspek standar pelayanan tersebut bercirikan: adanya kesederhanaan dalam prosedur dalam arti tidak berbelit-belit sehingga orang mudah dalam memenuhi persayaratan yang ditentukan, kejelasan dalam aturan pelaksanaan kerja (juknis dan juklak), adanya ketentuan yang jelas tentang biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus suatu pekerjaan, dan tepat waktu dalam menyelesaikan pekerjaan yang merupakan cerminan disiplin kerja.


Kepuasan masyarakat terhadap pelayanan aparatur birokrasi juga ditentukan oleh sikap perilakunya dalam penampilan kerja sehari-hari, misalnya tidak bersikap dingin, tidak berkesan arogan, tidak dianggap memimpong, sebaliknya ramah, bersikap sopan, luwes dan proaktif, dengan katakanlah menyapa, menyilahkan duduk dan berkata: “apa yang bisa kami bantu”. Sentuhan-sentuhan kemanusiaan (human touch) inilah yang merupakan inti dari tertampilkannya human relations para aparatur dan pejabat publik dalam menjalankan administrasi pemerintahan yang makin bermakna di masa kini.



Birokrasi, “Civil Society” dan Partisipasi


Partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan dan pengawasan terhadap birokrasi, seyogianya tidak terbatas pada peranan institusi-institusi dalam struktur pemerintahan, tapi perlu melibatkan elemen-elemen dalam masyarakat seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pers, perguruan tinggi dan komponen-komponen masyarakat kritis lain yang mampu mewakilli aspirasi dan kepentingan rakyat.


Pengawasan masyarakat, dialog dan “debat publik” dalam proses perencanaan pembangunan dan penyusunan kebijakan publik, mempunyai manfaat ganda. Pertama, dapat merefleksikan suatu proses administrasi negara yang manageble, transparan dan terbuka. Kedua, bermakna positif dalam mempromosikan hal-hal yang ideal menyangkut terwujudnya keadilan sosial dalam masyarakat. Mengapa demikian? Karena partisipasi dan keterlibatan yang penuh dari warga masyarakat tidak hanya dapat melahirkan produk kebijakan publik yang menyentuh kepada kepentingan dan kebutuhan rakyat banyak, tapi dalam pelaksanaannya pun niscaya lebih mendapat respons yang lebih baik dibanding implementasi suatu kebijakan publik yang dibuat secara tertutup tanpa “didialogkan” dan dibicarakan bersama masyarakat.


Ralph Braibanti (1986) mengatakan peningkatan mengolah tuntutan politik menjadi tindakan administratif merupakan fungsi (paling) pokok yang harius dijalankan oleh pemerintah. Hanya aparatur modernlah yang secara efektif dapat mengolah kompleksitas tuntutan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat R. William Liddle (1992) yang mengatakahn bahwa di antara empat ciri suatu sistem pemerintahan yang demokratis, efektif dan stabil di dunia kita, termasuk di Indonesia yaitu birokrasi negara yang mampu melaksanakan kebijaksanaan pemerintah. Tanpa birokrasi yang kompeten, pemerintah apa pun tidak akan berhasil.


Lucian W. Pye yang dikutip Ralph Braibanti (1986), menyatakan pandangannya, bahwa memperkuat sisi administrasi bisa jadi malah memperburuk keseimbangan antara administrasi dan politik. Bahkan hal itu juga dapat mendorong para pemimpin semakin menekan lembaga politik dan administrasi untuk menutupi kelemahan politiknya. Sementara itu S.N. Eisenstadt menegaskan bahwa keterlibatan birokrtasi yang terlalu luas ke dalam proses politik masyarakatnya mendorong birokrasi itu sendiri menjadi kelompok kepentingan dan menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan juga fungsi-fungsi partai politik. Dan oleh karenaya pula perkembangan otonomi aneka kegiatan politik, organisasi dan perkembangan orientasi menjadi terhambat karenanya.


Bila kondisi seperti itu sudah menjadi gejala dan realitas sosial, kita boleh risih, terutama jika dihubungkan dengan masalah tingkat partisipasi rakyat. Sebagaimana dikatakan JFR Organsky (1983), adanya jurang yang amat dalam antara yang memerintah dan yang diperintah menyebabkan minimnya tingkat partisipasi politik para warga negara, walaupun secara politik masyarakat umum adalah subjek politik.


Gabriel Almond dan Bingham Powel, Jr., (1983) menulis, banyak bukti menunjukan bahwa peningkatan daya penetrasi dan sentralisasi birokrasi tidak pernah diikuti oleh kesetiaan dan kerelaan masyarakat pada suatu sistem politik.


Kedua pakar politik itu mengetengahkan Perserikatan Australia dengan Hongaria sebagai contoh paling tepat. Lalu Italia dengan kekaisaran Roma adalah kasus berikutnya. Di sana, tokoh-tokoh politik dan aparat birokrasi pemerintah tidak pernah berhasil menggalang kerjasama, kesetiaan dan kerelaan warga masyarakat pada negara. Yang terjadi, justru pemusatan kekuasaan politik pemerintah secara tegar dan lepas dari kontrol masyarakatnya.


Inti pendapat Almond dan Powel, Jr., menunjukkan bahwa persoalan birokrasi merupakan aspek yang sangat krusial dalam suatu sistem politik dikaitkan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Fenomena birokrasi sebagai “institusi politik” menjadi unsur aktif yang sendirian dalam sebuah negara.Dimensi regulasi dan rentang pengendalian merupakan indicator dari kecenderungan peran fungsional birokrasi sebagai primum mobile.


Pengaturan administrasi serba-pusat dan terpusat, terorganisir dan sistematis dalam pengelolaan negara merupakan aspek yang sangat dominan dari peran birokrasi di hampir semua negara berkembang. Dalam posisi itu, negara yang terdefinisikan dalam lembaga birokrasi, mengkooptasi semua kekuatan atau organisasi di dalam masyarakat ke dalam suatu payung state corporation (korporatisme negara). Hal ini dapat berakibat ruang publik bagi kegiatan dan ekspresi politik eksternal mengalami kemandulan dan penyempitan, karena adanya intervensi yang berlebihan dari birokrasi.


Dalam situasi ini, peranan politik Orsospol dan Ormas sangat lemah. Keberdayaan dan kemandirian rakyat dalam mengartikulasi peran politik sangat terbatas, seirama dengan derajat agregasi yang juga rendah dari lembaga-lembaga politik formal. Akhirnya, semua itu tidak cukup berarti untuk melakukan bargaining power/position dengan negara, karena disain dari sistem politik telah dipancang oleh kekuatan birokrasi yang sangat kuat.


Implikasinya birokrasi sering dituding sebagai ‘benang merah’ dalam sistem politik dan pemerintahan, bahkan eksistensinya sebagai sesuatu yang sangat dibenci orang, sehingga sorotan dan kritikan banyak dialamatkan kepadanya.


Para analis misalnya, mengatakan, birokrasi secara simultan menampilkan citra yang kontradiktif dari efisiensi dan ancaman kekuasaan. Secara internal banyak terjadi korupsi, kolusi, kebocoran dan pemborosan keuangan negara serta inkompetensi.


Secara eksternal, ia sering dianggap sebagai biang kerok terjadinya involusi politik, rendahnya dinamika aspirasi dan kreativitas rakyat dalam spektrum politik. Berhubung dengan campur tangan dan cengkeramannya yang sangat besar/kuat dalam membirokratisasikan setiap kegiatan yang berorientasi dan bervisi aktivitas politik.


Di sini, manajemen politik dilaksanakan sejalan dengan pemahaman Max Weber yang menyatakan, bahwa pembentukan kekuasaan negara modern yang birokratis menuntut stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang mantap; yang lahir dan berkembang sejalan dengan terjadinya perubahan dalam tata dan wacana hubungan internasional.


Berkembanglah keketatan pengaturan, pengendalian dan tahapan rasionalisasi yang sistematis dalam pengelolaan negara, melalui sistem administrasi pemerintahan yang birokratik dan bersifat “memaksa” ke dalam suatu bentuk “kapitalisme” yang diatur negara.


Orientasi dan visi praktik politik negara direduksikan semata demi tercapainya suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mantap. Visi negara acapkali dijaga parameternya oleh pentingnya “orientasi target” ketimbang “orientasi misi” yang lebih menukik pada dinamika aspirasi masyarakat.


Format trickle-up effect, hampir tidak berlaku dalam suatu negara yang cenderung menguatkan diri pada adanya jaminan stabilitas sistem, melalui format kepolitikan birokrasi yang sangat ketat.


Padahal, infrastruktur masyarakat merupakan subjek sekaligus penyangga kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya yang keberadaannya conditio sine qua non.


Sebagai contoh, konsep perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning) yang diciptakan oleh pemerintah untuk mendorong partisipasi rakyat harus berhadapan dengan beureaucratic-model yang menjadi “cetak biru” pembangunan yang resmi di kalangan perencana dan pelaksanan pembangunan.


Dalam perjalanannya, langkah-langkah kebijaksanaan politik top-down policy melalui perencanaan dari atas mencuatkan nuansa sosial dan psikologi politik yang sangat mengganjal yakni adanya pemetaan antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”, secara cukup diametral. Timbulnya jurang perbedaan diantara keduanya. Implikasi dari jurang perbedaan ini, dalam perkembangan lebih lanjut, tampak sangat signifikan yakni dapat ikut mendorong dan menyebabkan minimnya tingkat partisipasi politik warga negara, kata pakar politik Jfr. Organsky.


Singkatnya, peran politik yang sangat dominan dan birokrasi menumbuhkan fenomena sosial dalam spektrum politik, yang oleh Jackson disebut beureaucratic polity, yang tercermin oleh besarnya kekuasaan birokrasi vis-à-vis lembaga-lembaga perwakilan dan infrastruktur politik seperti partai politik dan organisasi massa. Pada gilirannya, hubungan antara negara dan masyarakat dalam konteks demokrasi dan kemandirian politik menjadi semakin jauh dari komunitas subjek (rakyat) sebagai pusat penggerak dinamika sistem.


Sebaliknya, peran negara semakin menguat seperti terefleksi dalam intervensinya yang jauh ke dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat, yang sebenarnya merupakan subyek politik yang otonom. Kemiskinan politik menjadi tak terhindarkan lagi. Bahkan tampak bertautan dengan kemiskinan ekonomi. Ketakberdayaan infrastruktur politik mewacanakan suatu kenyataan klasik, bahwa depolitisasi massa rakyat telah dapat diterima sebagai suatu yang logis oleh massa rakyat itu sendiri, sehingga akses fungsional lembaga-lembaga perwakilan dan infrastruktur politik ke kekuasaan negara, cenderung semakin rentan.


Setidaknya kita menangkap kesan itu, dari beratnya beban the psicological of power, yakni rakyat harus menerima kenyataan yang ada, dimana mereka tidak ikut menciptakan dan tidak ada keberanian dalam mengubah kenyatan konstelasi politik yang dikembangkan.


Proses demokrasi di Indonesia memang sedang dalam proses belajar, yang berarti, sedang terjadi uji coba demokrasi di negara ini. Mengapa? Karena pembangunan politik yang selama ini di kembangkan di masa lalu tampak diarahkan untuk menciptakan sistem politik yang derivatif. Polanya diambil dari sistem politik tradisional, yang kemudian sistem politik ini disebut sistem politik Pancasila.


Pembangunan politik Indonesia sebagai pergerakan menuju demokrasi, mengarah pada demokrasi Pancasila; suatu bentuk demokrasi yang sesuai dan berakar tunjang pada kebudayaan asli demokrasi Indonesia.


Proses demokrasi dan kehidupan politik menjadi sangat kompleks di negara-negara yang oleh Dr. Soedjatmoko (alm) digolongkan sebagai negara birokratis-modernis (modernizing-beureaucraticstate), suatu penggolongan yang justru banyak dijumpai di kebanyakan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.


Negara-negara birokrasi-modernis ini yang karena kecenderungannya melakukan penekanan pada konformisme birokratik, membirokratisasikan masyarakat, dan mendepolitisasikan massa, akan membuatnya mengalami kesulitan besar dalam mengantisipasi proses perubahan yang tengah berlangsung.


Fakta krusial pada jenis negara ini, adalah lemahnya tingkat responsif dan proaktivitas birokrasi pada perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, terutama dalam pengembangan demokrasi sebagai partisipasi, keterbukaan, kompetisi, dan gerakan egaliterianisme politik dari seluruh unsur bangsa.


Betapa tidak. Pemerintah menempatkan dirinya pada posisi hegemonik atas masyarakat. Kinerja dan “prestasi” aparatur sering diukur lewat keberhasilannya dalam mengembangkan sistem politik yang bisa mengontrol masyarakat sipil dengan serangkaian kebijakan yang cenderung mengarah pada marginalisasi peran politik massa.


Peran regulator birokrasi sebagai pemain politik diperkuat, stabilitas sistem (politik) dijaga; konflik dan pikiran-pikiran alternatif-kritis dieliminasi, atau setidaknya ditabukan, sedangkan politik masa diambangkan. Keadaan ini tentu saja, cepat atau lambat akan terjadi pemerosotan sistematis peran masyarakat sipil dalam kehidupan politik dan ekonomi, sebab rakyat cenderung diperlakukan sebagai “obyek” dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah.


Akibatnya, kata Syamsuddin Haris (1994), masyarakat bukan saja kehilangan hak-hak politik dan ekonomi mereka, tidak jarang juga kehilangan hak hidup mereka sebagai manusia (seperti yang dialami para petani dan buruh yang tewas mempertahankan dan upah minimal untuk sekedar mempertahan kan hidup).


Mengapa kondisi makro itu terjadi? Tampaknya hal ini berkaitan dengan belum optimalnya kemauan dan langkah-langkah politik dalam menegakan kedaulatan rakyat guna mengentaskan mereka dari kemiskinan politik. Untuk itu, langkah konkrit dalam menegakan kedaulatan rakyat harus merupakan prioritas yang dikembangkan.


Dengan cara melakukan pemberdayaan (empowerment) rakyat, mengembangkan keterbukaan (transparency) kebijaksanaan dan rasa pertanggungjawaban (accountability) pemegang hukum terhadap rakyat.


Kemiskinan politik, menurut Loekman Soetrisno (1995), dapat dipecahkan apabila ada usaha serius dari pihak pemerintah untuk menciptakan suatu civil society di negara kita. Civil society hanya dapat diciptakan apabila pemerintah mau menderegulasi politik di Indonesia dengan cara menghapus berbagai peraturan yang menghambat pertumbuhan politik, kecuali peraturan yang berkaitan dengan kosensus nasional.


Di samping deregulasi politik, pemerintah perlu mengupayakan tertanamnya budaya demokrasi di kalangan aparatnya dalam usaha kita bersama untuk menciptakan civil society di negara kita. Tanggung jawab untuk menciptakan civil society juga ada ditangan masyarakat melalui kemampuan mereka untuk melepaskan diri dari sikap dan tingkah laku yang mengarah pada SARA yang selama ini menghambat kita untuk menjadi negara yang modern.


Akhirnya, bukan mimpi atau ilusi, bahwa kita mempunyai niat besar, lurus dan tulus menuju terwujudnya masyarakat egaliter, sebagai refleksi dari masyarakat warga (civil society). Bukan pula basa-basi, bahwa kita hendak menciptakan pemerintah yang bersih, kuat dan berwibawa.


Bagaimana pun harus disadari, birokrasi yang bersih dan berwibawa adalah pangkal gerakan dan aktifitas segala bidang kehidupan, termasuk mengembangkan enerji transformasi ke arah suasana followership, yang memacu optimalnya kesetiaan da kerelaan masyarakat pada suatu sistem politik. Kondisi ini merupakan bagian penting dalam memantapkan formasi kinerja sistem nasional Indonesia menuju era gobal.***





DAFTAR PUSTAKA


Ermaya Suradinata, 2002, Manajemen Pemerintahan dalam Ilmu Pemerintahan, Vicodata,
Jakarta.


Fred W. Riggs (editor), 1986, Administrasi Pembangunan: Batas-batas, Strategi Pembangunan
Kebijakan dan Pembaharuan Administrasi, Rajawali, Jakarta.


Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel,1990, “Kelompok-kelompok Strategis: Studi Perbandingan
tentang Negara, Birokrasi dan Pembentuka n Kelas di Dunia Ketiga, terjemahan Aan
Effendi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.


H. George Frederickson, 1988, Administrasi Negara Baru, terjemahan, Al-Ghozei Usman,
LP3ES, Jakarta.


Hetifah Sjaifudian, 2002, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan
Partisipatif di Indonesia, The Ford Foundation dan BandungTrust Advisory Group,
Bandung.


Ismid Hadad (editor), 1981, Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, LP3ES, Jakarta.


Loekman Soetrisno, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Rajawali, Jakarta.


Mohtar Mas’oed, 1994, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.


R. William Liddle, 1992, Pemilu-pemilu Orde Baru, LP3ES, Jakarta.


Sahat Simamora (penerjemah), 1983, Beberapa Aspek Pembangunan Politik: Sebuah Bunga
Rampai, Rajawali, Jakarta.


Syamsuddin Haris (1994), Demokrasi di Indonesia, LP3ES, Jakarta.